Minggu, 13 November 2011

HAM, Tirani, dan Pendidikan yang Berkesadaran Manusia

HAM, Tirani, dan Pendidikan yang Berkesadaran Manusia
Sri Maryani

Pendidikan HAM lebih dari sekadar pelajaran di sekolah atau sebuah tema untuk sehari. Pendidikan HAM ialah proses untuk membekali orang dengan perlengkapan yang mereka butuhkan untuk hidup aman dan bermartabat. Pada hari HAM internasional marilah kita terus bekerja sama untuk mengembangkan dan membina generasi masa depan dalam budaya HAM, untuk mempromosikan kebebasan, keamanan, dan perdamaian di semua bangsa. (Kofi Annan)

Eskalasi Masa dan Pencapaian HAM
Kehidupan terus bergerak dinamis. Dalam pengamsalan, manusia seperti sedang menaiki semacam eskalasi masa, dari titian purba menuju tangga-tangga masa yang sering disebut sebagai titian peradaban yang mapan. Manusia yang bertumbuh di era baru kemudian juga memiliki dimensi baru mengenai tata cara kerja, hidup, berpikir, dan pemenuhan segala macam keinginannya. Sering digaungkan bahwa titian masa ini sebagai titik peradaban yang mapan. Akses untuk memenuhi segala macam kebutuhan menjadi serba mudah. Warna hidup manusia beralih dari tradisional menjadi praktis, namun di samping itu juga beralih dari humanis menjadi egosentris. Lantas di sudut mana kemapanan, ketika manusia saling menebas kebebasan untuk memenuhi hak dirinya yang perseorangan?
Pemenuhan keinginan hidup yang perseorangan apabila kebablasan bisa jadi menimbulkan kepincangan pemenuhan hak, terjadi tumpang tindih pemenuhan, di satu sisi ada hak (keinginan) yang terpenuhi, sisi lain ada hak orang lain yang terabaikan. Apabila tidak ada kejelasan kontrol tentang pemenuhan HAM, akan ada saling tebas-menebas kepentingan. Apabila sudah seperti itu, eskalasi masa pencapaian peradaban menjadi semacam wacana semu. Dalam realitas tebas menebas HAM, masa sekarang seperti tak beda jauh dengan masa-masa purba. Manusia menjadi lebih “buas” bahkan lebih buas dari masa terdahulu berkaitan dengan saling memuaskan keinginan. Kita seperti terlarut dalam pusaran “seleksi alam HAM” siapa yang kuat maka ia yang dapat memenuhi setiap kepentingannya. Manusia saling berperang, saling licik, dan saling memanipulasi kondisi, saling rebut merebut kekuasaan. Muncul para tiran yang memberangus hak-hak individu.
Manusia yang dibekali akal kritis untuk mengungkap kebobrokan pelangaran nilai-nilai HAM, berkoar untuk kemudian dibungkam, tak jelas entah disingkirkan ke mana atau dibisukan dengan jalan apa, termasuk dengan cara “me-mati-kan”. Berbagai kasus seperti mandeg tak bisa diselesaikan. Contoh kasus yaitu pembunuhan Munir yang sampai sekarang tidak jelas peradilannya bagaimana. Meskipun wacana peradilan tak henti-hentinya digaungkan oleh para aktivis HAM, tetap saja, isu ini menjadi semacam nyanyian semusim apabila “Hari Peringatan” tiba.

Mengikat Ingatan tentang HAM
Peringatan hari HAM sebagai gaung lanjutan dari declaration universal of human rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang dicetuskan PBB pada tahun 1948 itu menjadi sebentuk kesadaran HAM untuk menghentikan kekerasan juga segala bentuk penindasan yang terjadi pada saat itu. Hingga kini hal tersebut menjadi semacam penanda yang harus dikenang terus. Bukan hanya soal mengenang, tetapi bagaimana mengungkap apa-apa yang selama ini sempat terbungkam, apa-apa yag selama ini sempat disembunyikan.
Momentum peringatan HAM menjadi semacam cambuk agar manusia senantiasa tersadarkan terhadap tragedi-tragedi “penistaan HAM” juga terhadap informasi-informasi yang selama ini dihilangkan.
Menyoal peringatan HAM, seharusnya kita tak hanya berhenti pada satu titik masa yaitu tanggal 10 November. Banyak tanggal-tanggal peringatan lainnya yang memang berkaitan erat dengan HAM. Dalam rentang akhir November sampai bulan Desember saja, ada beragam hari peringatan yang sebetulnya secara esensi masih terikat kuat dengan nilai-nilai HAM. 25 November sebagai hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, 1 Desember sebagai hari AIDS sedunia, 2 Desember sebagai hari internasional untuk penghapusan perbudakan, 3 Desember sebagai hari internasional bagi penyandang Cacat, 5 Desember sebagai hari internasional bagi sukarelawan, 6 Desember sebagai hari tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan. Ini menandakan bahwa sepanjang hari kita adalah hari-hari peringatan terhadap belum terpenuhinya keadilan terhadap HAM.

Tirani dan Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM yang Terjadi
Beragam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi selama ini dapat dilihat dalam beragam bentuk kekerasan yaitu berupa kekerasan fisik dan nonfisik—tutur Utomo Dananjaya dalam salah satu esainya.
Kekerasan fisik berupa penyiksaaan oleh institusi kekuasaan, penculikan dan penahanan. Kekerasan di dalam masyarakat berupa pemerkosaan, tindak kekerasan, kerusuhan sosial, penyerobotan dan sebagainya. Selain itu ada kekerasan dalam bentuk lain, seperti pembuangan limbah, upah kecil, diskriminasi ras, agama dan golongan, dsb.
Kekerasan-kekerasan semacam itu apabila dibiarkan begitu saja akan menjadi rentetan tragedi yang lumrah. Padahal, ini menyangkut tragedi besar kemanusiaan yang harus dijalanterangkan keadilannya.

Pendidikan HAM sebagai Pendidikan Berkesadaran Manusia
Memerhatikan beragam peristiwa bersejarah yang bersangkutan dengan HAM dalam rentang masa selama ini, kita memang seharusnya paham betul urgensi penegakan nilai-nilai HAM dan pemenuhannya.
Pendidikan HAM menjadi satu pendidikan wajib yang harus diperkenalkan bukan hanya pada siswa sekolah melainkan pada semua lapisan masyarakat. Benar kata Koffi Anan, “human rights education is much more than a lesson in schools”, pendidikan HAM lebih dari sekadar pelajaran di sekolah. Masyarakat berhak mendapatkan itu semua. Jangan menjadikan masyarakat sebagai orang “lugu” yang menerima setiap “penistaan HAM”. Masyarakat harus paham hak-haknya sebagai makhluk fitrah, selain itu masyarakat juga harus dibuat kritis terhadap setiap pelanggaran HAM yang terjadi, bahkan mereka harus melek terhadap cara mereka memperoleh hak keadilan mereka.
Materi-materi HAM yang seharusnya disusupkan dalam kurikulum pendidikan HAM di antaranya ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai HAM, perdamaian, demokrasi dan pembangunan berkelanjutan, dan bahkan seharusnya lebih dari itu, dan seharusnya lebih diperbanyak teori-teori yang aplikatif. Di dalam pendidikan formal di sekolah, materi-materi tersebut seharusnya tidak hanya dibebankan pada satu mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi juga harus menjadi nilai-nilai yang terkandung di semua materi pelajaran, juga di seluruh kegiatan atau interaksi.
Salah satu pendekatan dalam pendidikan HAM yang telah berkembang selama ini di masyarakat ialah pendekatan kritis. Pendekatan ini memandang HAM sebagai realitas masyarakat. Dan, sepertinya itu menjadi salah satu pendekatan dalam pendidikan HAM yang lebih aplikatif.
Selain itu perlu juga pengenalan kepada masyarakat mengenai aturan-aturan hukum yang akan memagari masyarakat agar tak menjadi korban atau pelaku pelanggaran-pelanggaran HAM. Masyarakat perlu diberi tahu tentang aturan-aturan yang berkaitan dengan HAM. Di Indonesia ada undang-undang yang berkaitan dengan itu, di antaranya ialah dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Pada intinya, pendidikan HAM ini harus menjadi media yang akan mengkritiskan masyarakat, membuat masyarakat sadar akan hak-haknya sebagai manusia, juga masyarakat lebih peka terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi.
Sebagai penutup tulisan ini, ada anekdot menggelitik dari George Bernard Shaw mengenai manusia, katanya, “Kalau manusia ingin membunuh harimau, ia menyebutnya olahraga. Kalau harimau ingin membunuh manusia, ia menyebutnya keganasan.”. Itulah manusia, selalu banyak alasan untuk melanggengkan keinginannya. Semoga kita terhindar dari tragedi saling tebas-menebas hak, apalagi dengan sesama saudara: MANUSIA!