Selasa, 10 Juli 2012

Transmisi Teks dalam Cerita Kabayan Ngala Tutut


Oleh

Sri Maryani, S.Pd.

Membaca cerita "kabayan ngala tutut" maka kita akan menemukan banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga kaitan teks tersebut sebagai bagian dari kesusateraan yang terus dijaga juga dilestarikan keberadaannya oleh masyarakat penuturnya.

Transmisi didefinisikan sebagai suatu proses penurunan teks baik secara horizontal maupun secara vertikal serta ada nilai-nilai yang diturunkan dari penutur satu ke penutur lainnya. Penurunan teks secara vertikal bersifat tertutup dan diturunkan dari atas ke bawah atau turun temurun. Mengenai penurunan teks secara vertikal kami gambarkan melalui cerita yang kami pilih yaitu Kabayan ngala tutut. Kemudian ada yang disebut juga penurunan teks secara horizontal yaitu melibatkan dua kelompok yang berbeda dalam hal penurunannya pun bersifat terbuka.

Cerita “Kabayan Ngala Tutut” diwariskan turun temurun dari para leluhur, nenek, orang tua, hingga sampai kepada kita. Dalam prosesnya, adakalanya cerita "Kabayan ngala tutut" itu memiliki perbedaan versi antar wilayah. Misalnya, di satu wilayah di tataran sunda ini, ada yang menceritakan bahwa yang menyuruh Kabayan mencari tutut itu adalah Nini, Ada yang mengatakan bahwa yang menyuruh Kabayan mencari tutut itu adalah ambu, ada juga yang mengatakan bahwa yang menyuruh Kabayan mencari tutut itu adalah Iteung istrinya.

Secara fungsi, dalam cerita “Kabayan Ngala Tutut” setidak memiliki beberapa Fungsi diantaranya sebagai berikut.

Pertama, berfungsi sebagai pengesah kebudayaan. Dalam hal ini cerita tersebut memberikan gambaran kebudayaan orang-orang Sunda, tentang kebiasaannya mencari tutut, atau pergi ke sawah. Dengan demikian adanya cerita tersebut memberikan ciri budaya orang-orang Sunda.

Kedua berfungsi sebagai alat pendidikan. Cerita tersebut dapat dijadikan media dalam mendidik. Khususnya anak-anak, karena cerita tersebut memiliki amanat yang dapat dijadikan bahan pelajaran dan pengetahuan bagi anak secara soft skill.

Ketiga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu, sebelum berkembangnya media hiburan, cerita ini biasanya cerita ini dituturkan di depan anak-anak sehingga mereka merasa senang dan terhibur. Selain itu juga biasanya dongeng ini dituturkan sebagai dongeng pengantar tidur.

"Kabayan Ngala Tutut" memang merupakan cerita ringan namun di balik itu banyak makna yang terkandung, misalnya "tingkah aneh" kabayan yang enggan turun ke sawah untuk mencari tutut karena takut tenggelam melihat bayangan langit yang memantul di permukaan air kolam, padahal sebagai pembaca dan di dalam konteks riil kita tahu bahwa itu hanya bayangan bukan hal yang sebenarnya. Hal tersebut dapat dilihat di penggalan dialog:

Cék ninina, “Na Kabayan, ngala tutut dileugeutan?”

Cék Si Kabayan, “Kumaha da sieun tikecebur, deuleu tuh sakitu jerona nepi ka katémbong langit.”

Ninina keuheuleun. Si Kabayan disuntrungkeun brus ancrub ka sawah.

Cék Si Kabayan, “Heheh él da déét.”

Kabayan yang polos atau bodoh? Ia enggan untuk masuk ke sawah karena takut tenggelam, sampai pada akhirnya ia didorong ke dalam sawah dan baru benar-benar menyadari bahwa sawah itu memang dangkal.

Dari cerita tersebut kita mendapatkan sebuah nilai atau pesan yang sangat baik bahwa segala sesuatunya harus dicoba. Ketakutan pada awal-awal rencana tindak kita, itu hanya sebatas bayangan yang kita reka-reka sendiri yang akan mengungkung kita untuk tetap tidak bergerak, sampai ketika kita nekat berusaha mendobrak ketakutan-ketakutan itu atau juga dibantu oleh orang lain untuk mendobrak hambatan berupa ketakutan yang kita buat sendiri.

Selain tentang keberanian untuk bertindak, cerita Kabayan Ngala Tutut ini juga mengajak kita untuk menjadi orang yang semangat untuk mendapatkan sesuatu dalam kehidupan, tidak sekadar malas-malasan. Hidup itu harus punya keinginan. Hal ini terlihat dari salah satu ungkapan, "Kabayan ulah héés beurang teuing, euweuh pisan gawé sia mah, ngala-ngala tutut atuh da ari nyatu mah kudu jeung lauk.” kalau diIndonesiakan artinya ialah "Kabayan jangan tidur terlalu siang, kamu tidak ada kerjaan, mencari-cari tututlah. Kan makan harus ada lauknya". Seloroh "Kabayan jangan tidur terlalu siang" sebetulnya itu sudah menunjukkan bahwa Kabayan orangnya memang malas. "Kamu tidak ada kerjaan. mencari tutut-tutulah" sikap Kabayan yang pemalas pada akhirnya membuat ia seolah tak memiliki kerjaan padahal banyak hal yang musti ia kerjakan dalam kehidupan ini. Hal tersebut bukan berlaku pada kabayan saja melainkan penerapan nilainya kepada kita sebagai orang-orang yang nyata di dalam kehidupan. Pentingnya manusia untuk bekerja atau bergerak sampai ada ungkapan "ngala-ngala tutut atuh" itu sudah merpakan yang sangat mengena sekali bai mereka yang tak punya aktivitas. Setidaknya ungkapan tersebut mengajak untuk melakukan aktivitas sekecil apapun itu.

Selain itu, kita pun tak boleh berpikir singkat, reaktif, dan tak mempertimbangkan benar atau tidaknya. Hal ini terlihat dari tingkah kabayan yang karena takut turun ke sawah untuk mencari tutut karena menyangka sawah dalam, maka ia memutuskan untuk memancing tutut-tutut tersebut dengan menggunakan getah. Ini nampak konyol sekali.

Mungkin saja itu sindiran bagi kita yang sering bertingkah konyol di dalam kehidupan ini, tidak dengan pertimbangan yang matang.

Selain nilai tersebut, apabila dikaitkan dengan kultur cerita tersebut bisa menjadi perwakilan orang sunda yang sering mencari tutut di antara waktu senggang mereka. Yang menjadi persoalan ialah apakah sosok Kabayan merupakan gambaran masyarakat sesungguhnya? Tidak bisa digeneralisir bahwa Kabayan ialah karakter masyarakat Sunda. Bisa jadii itu hanya cerita turun temurun untuk mengingatkan kita saja. Cerita yang mengandung banyak nilai pendidikan, petuah hikmah, dan filosofi hidup yang sangat baik yaitu harus selalu belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh Kabayan.

Cerita Kabayan memang begitu lekat dalam kehidupan masyarakat sunda. Mungkin ini juga berkaitan dengan kultur Sunda.

Membaca nilai-nilai yang terkandung di daalam cerita Kabayan tersebut, penulis jadi teringat sebuah lagu sunda yang dipopulerkan oleh Doel Sumbang:

"Kabayan...Orang Sunda.....

Tapi, orang Sunda... Lain si Kabayan..."

Dengan tingkahnya yang "menggemaskan" itu akhirnya Kabayan telah menggelitik sikap dan prinsip hidup kita. Apa jangan-jangan Kabayan adalah kita? Semoga kita banyak belajar dari “kepolosan” Kabayan. Dan, menjadikan diri jauh lebih baik dari itu.

Sumber rujukan: Cerita “Kabayan Ngala Tutut”

Sri Maryani, Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar