Selasa, 16 Oktober 2012

Koprolalia dan Kekhidmatan Berbahasa

Koprolalia dan Kekhidmatan Berbahasa
Tinjauan Psikolinguistik Terhadap Penyebab, Mekanisme, dan Efek Penyakit Latah Kotor dalam Tuturan
Sri Maryani, S.Pd.

    A. Latar Belakang
    Seringkali disebutkan beberapa penyebab munculnya penyakit latah yaitu di antara karena gangguan fungsi syaraf, psikologis dan sosial. Para pengkaji atau peneliti kasus tersebut biasanya menguatkan titik fokus pada tiga faktor yang disebutkan di atas. Sebenarnya ada satu lagi yang seringkali terlewatkan untuk dikaji lebih lanjut yaitu tentang linguistik entah itu kedudukannya sebagai faktor penyebab (kalau dapat disebutkan sebagai faktor penyebab) atau kedudukannya sebagai efek atau output dari peristiwa latah itu tadi.
    Menurut KBBI (2005:643) latah adalah menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain; berlaku seperti orang gila (misal karena kematian orang yang dikasihi);  meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain; mulut mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh (karena marah, dsb).
    Sejalan dengan definisi yang diungkapkan KBBI, ada pula yang mengelompokkan jenis-jenis latah tersebut ke dalam dua kelompok yaitu latah ucapan (latah verbal) dan latah tindakan. Latah verbal terdiri dari dua jenis latah yaitu Ekolalia (mengulangi perkataan orang lain) dan koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor). Latah tindakan terdiri dari dua jenis latah yaitu latah ekopraksia (meniru gerakan orang lain) dan automatic obodience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).
    Dari keempat jenis latah tersebut koprolalia menjadi jenis latah yang mungkin saja paling dapat "menjatuhkan wibawa" penderitanya. Seorang penderita latah jenis ini secara spontan dapat mengeluarkan kata-kata jorok seperti menyebut nama alat-alat kelamin apabila dikagetkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus yang objek yang dikaji dalam makalah ini. Seringkali apabila mengalami kekagetan, objek mengucapkan nama alat kelamin laki-laki secara spontan.

    B. Rumusan Masalah
    Ada beberapa rumusan makalah yang penulis rumuskan dalam makalah ini yaitu:
1. apakah definisi kelainan berbahasa itu?
2. apakah definisi latah?
3. apakah latah termasuk kelainan berbahasa?
4. jelaskan tentang jenis-jenis latah?
5. apakah penyebab latah koprolalia?
6. bagaimana mekanisme latah koprolalia terjadi?
7. apakah efek latah koprolalia bagi penderitanya?
8. apakah penyakit latah koprolalia dapat disembuhkan?
   
    C. Tujuan Penulisan
    Di dalam penulisan ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1. agar mengetahui definisi kelainan berbahasa
2. mengetahui definisi latah
3. mengetahui bahwa latah termasuk kelainan berbahasa atau bukan
4. mengetahui jenis-jenis latah
5. mengetahui penyebab latah koprolalia
6. mengetahui mekanisme terjadinya latah koprolalia
7. engetahui efek latah koprolalia bagi penderitanya
8. mengetahui cara penyembuhan latah koprolalia

    C. Profil Objek:
Nama                : Ellys Herawati
Tempat dan Tanggal Lahir    : Sumedang, 8 November 1963
Pekerjaan            : Ibu Rumah Tangga
Alamat                : Jalan Pamagersari No 16A RT 01 RW 03 Desa Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten sumedang 45362.

    Dari hasil wawancara bersama objek, diketahui beberapa data yaitu bahwa objek mengalami latah pada saat usia 30 tahun. Saat dikagetkan, penderita sering melontarkan kata-kata secara spontan dalam bentuk kata-kata jorok yaitu sering menyebut-nyebut "gonad" pria. Penderita menyatakan bahwa mulai menderita latah dimulai dengan mimpi jorok. Penderita sering dikagetkan meskipun di tempat-tempat umum seperti di pasar. Namun, tetap saja ia tak dapat mengontrol kata-katanya sehingga kata-kata yang keluar tetap jorok.

    D. Deskripsi dan analisis data
    Berbicara tentang latah kita berbicara tentang "kespontanan" yang tidak dapat dijelaskan oleh penderita. Awalnya ia merasa kaget lalu ia mengikuti peniruan entah berbentuk gerakan atau ucapan. Dalam tulisan ini yang akan disoroti lebih dalam yaitu tentang kespontanan dalam hal verbal atau latah verbal. Lebih spesifik lagi yaitu tentang latah menggunakan bahasa-bahasa kotor (koprolalia).
    Menurut KBBI (2005:643) latah adalah menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain; berlaku seperti orang gila (misal karena kematian orang yang dikasihi);  meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain; mulut mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh (karena marah, dsb).
    Seperti yang telah dijelaskan di bagaian latar belakang, latah memiliki empat jenis yaitu Ekolalia (mengulangi perkataan orang lain), koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor). ekoproksia (meniru gerakan orang lain) dan automatic obodience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).
    Koprolalia (coprolalia) berasal dari bahasa Yunani "coprol" yang memiliki arti feces/kotoran. Latah jenis ini memang seringkali mengulang kata-kata tabu/jorok yang telah terpatri dalam pikiran sang penderita.
    Ada satu pertanyaan yang dari dahulu menggelitik pikiran penulis yaitu tentang apakah bahasa lahir karena ada pikiran manusia terlebih dahulu ataukah pikiran terlahir karena adanya bahasa dahulu yang menstimulus? Apabila diuraikan memang pertanyaannya mirip dengan pertanyaan esensi yaitu "Telur dulu ataukah ayam dulu?". Namun, studi-studi memang pada akhirnya menjawab pertanyaan tersebut meskipun ahli yang satu berbeda dengan pendapat ahli yang lainnya. Ada yang menyebut bahwa bahasa lahir setelah adanya "proses memikirkan" terlebih dahulu. Ada sebagian ahli lain yang menjelaskan bahwa "pemikiran" justru lahir karena adanya bahasa terlebih dahulu. Namun, Whorf dan Safir yang justru menggabungkan (membenarkan) dua hipotesis tersebut. Pikiran dan bahasa itu saling memengaruhi. Di dalam mekanisme normal, otak terstimulus oleh "kehendak diri" untuk membahasakan/mengkomunikasikan apa yang ada di dalam pikiran atau apa yang diinginkan diri. Namun, di sisi lain ada peristiwa-peristiwa spontan ,yang menuntut keadaan sebaliknya tanpa melalui filterisasi di otak terlebih dahulu. Salah satu kasus yang mungkin sesuai yaitu kasus latah. Latah memang merupakan tindakan spontan diluar kendali sang selakunya.
    Apabila dikaitkan dengan kompetensi berbahasa, muncul sebuah pertanyaaan yaitu apakah latah termasuk kelainan dalam berbahasa? Di dalam buku Dasar-dasar psikolinguistik didapatkan sebuah definisi bahwa kelainan bicara dan/atau bahasa adalah adanya masalah dalam komunikasi dan bagian-bagian yang berhubungan dengannya seperti fungsi organ bicara (2009:111).
    Tentang kelainan berbicara dan/atau berbahasa dikenal dua istilah yaitu language disorder ialah gangguan bersifat permanen ada kerusakan pada LAD (bagian otak yang mengatur bahasa) juga organ wicara dan language disfunction ialah gangguan fungsi pada salah satu alat berbahasa. laguage disfunction ini masih memungkinkan untuk diperbaiki. Latah termasuk kasus language disfunction yaitu karena adanya gangguan pada sistem "pengendalian berbahasa". Para penderita tidak dapat mengendalikan kata-kata yang mereka ucapkan ketika kaget. Apabila kelainan organik biasanya dipicu karena adanya faktor fisiologis yang bermasalah seperti organ ucap yang rusak, maka kelainan fungsional (language disfunction) biasanya dipicu oleh faktor-faktor yang sifatnya lebih berkaitan dengan psikis.
    Ada tiga faktor penyebab latah yang sering dijelaskan oleh para ahli. Faktor-faktor ini sifatnya lebih berkaitan dengan psikis penderita.
1. faktor pemberontakan. Mungkin di masa lalu penderita, ada dorongan yang tidak terkendali untuk melakukan sesuatu. Masa lalu yang selalu dikungkung dan dilarang juga bisa dimasukkan kategori ini. Hal ini tergambarkan dalam "tindakan latah" pada penderita yang cenderung "memberontak" realitas. Para penderita tidak menyadari lagi kata-kata yang diuvcapkan saat latah itu layak diucapkan atau tidak.
2. faktor kecemasan dipicu oleh adanya tokoh otoriter di balik layar. Dominasi tokoh yang dekat secara psikologi, tidak harus dalam lingkungan keluarga, bisa menjadi penyebab latah. Efeknya ialah penderita latah sering terpancing sikap reaktifnya untuk merespon secara spontan apa saja yang mengagetkan atau mencemaskannya secara tiba-tiba.
3. faktor pengkondisian, dalam bahasa sederhana disebut ikut-ikutan (trend-follower). Sebagai aktualisasi untuk mencari perhatian dari lingkungannya. Selain tentang aktualisasi untuk mencari perhatian tersebut, pengkondisian ini bisa merupakan tindak 'mengkondisikan' diri atau membiasakan diri dalam keadaan tersebut dalam hal ini latah. Inne Pramundita SPSi, psikolog Lascha Citta Pratama 3 menyebutkan bahwa latah bukanlah penyakit melainkan kebiasaan.
    Faktor yang ke tiga ini pula yang dapat menjelaskan mengapa latah dapat menular yaitu karena adanya pengondisian. Latah bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Dan, tentang kaitannya di sini dengan linguistik atau bahasa ialah bahwa bahasa merupakan salah satu efek atau "out put" dari peristiwa latah itu tadi. Seorang yang menderita latah berujar tanpa kendali pikiran sadarnya. Pernyataan ini pula yang akan menjawab tentang mekanisme terjadinya latah. Otak manusia memiliki dua kawasan unik yang amat berbeda namun sangat saling mempengaruhi. Salah satu bagian yang umumnya dikenal ialah bagian otak sadar (alam sadar) yang fungsinya untuk mengorganisasikan dan memfilterisasi segala tindakan manusia. Namun, ada satu kawasan otak lainnya yang sangat berperan dalam kehidupan manusia yaitu alam bawah sadar kita (subconcious). Pada kenyataannya, manusia 88% diatur oleh alam bawah sadarnya dan peran alam sadarnya hanya 12%. Orang yang latah adalah orang yang tak dapat mengendalikan alam bawah sadarnya dan malah cenderung selalu dikendalikan oleh otak bawah sadarnya tersebut. Penderita tak dapat mengendalikan sikap cemasnya, sikap reaktifnya, dan cenderung serba spontan dalam merespon sesuatu dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Di dalam keilmuan yang biasanya berurusan dengan alam bawah sadar ini ada yang dikenal dengan sebutan sugesti atau penguatan mindset. Penderita latah pada awalnya sudah mensetting otaknya untuk merespon setiap kekagetan dengan tingkah tertentu.
    Kaget ------> Respon spontan
    Mengapa latah dengan menggunakan bahasa jorok (koprolalia) dapat terjadi?
    Salah satu kasus ialah yang dialami oleh objek dalam dalam makalah ini. Penderita mengalami latah koprolalia atau latah kotor. Ia mengalami latah sejak usia 30 tahun. Pada awalnya, pengkaji mencoba mengaitkan antara latah dan sifat cerewet objek. namun, diketahui fakta pula ada juga ternyata penderita latah yang pada dasarnya memang tidak cerewet. Akhirnya diketahui bahwa memang latah terjadi karena sikap reaktif berlebihan yang dimiliki oleh penderita. Tentang bahasa latahnya yang kotor, pengkaji berasumsi bahwa hal ini berkaitan dengan lingkungan. Objek berada di lingkungan tinggal yang didominasi oleh laki-laki. Semua anaknya ialah laki-laki. Mungkin hal tersebut dapat dikaitkan mengapa saat latah yang ia ujarkan yaitu tentang nama alat kelamin laki-laki. Lingkungan pula menstimulus dalam hal ini memberikan penguatan ke dalam otak bawah sadarnya (mensugesti) untuk senantiasa mengucapkan kata-kata kotor. dalam ilmu hipnosis kita mengenal adanya anchor atau penanda untuk mensugesti. Misalnya: "Kaget" lalu ditanam di alam bawah sadarnya yaitu pada saat mendengar kata kaget ia harus merespon dengan perkataan jorok. Ini memang diluar kendali otak sadarnya.
Mekanismenya yaitu:
    Semakin lama alam bawah sadar tersugesti untuk itu maka semakin tebal penguatan terhadapnya. Di sinilah peran bahasa sesungguhnya, bahasa merupakan penyebab "penyakit" sesungguhnya. Karena bahasalah yang mendorong alam bawah sadar untuk "mensugesti salah". Seperti halnya ia dalam menciptakan suatu penyakit, sebetulnya bahasa juga bisa menjadi obatnya. Jadi, dapat dikatakan peran bahasa ialah sebagai sugesti penimbul penyakit dan obatnya sekaligus, tinggal bagaimana yang empunya mengendalikannya.
    "Manusia merupakan homo fabulans, homo ludens, dan homo symbolicum (makhluk bercerita, makhluk bermain, dan makhluk pencipta lambang) yang mengisyaratkan bahkan mensyaratkan adanya tutur dalam kehidupan manusia." (Djoko Saryono, 2006:13) sejalan dengan pendapat Ernest Cassier yang menyebutkan bahwa manusia sebagai animal symbolicum yang menggunakan simbol. Bahasa sebagai simbol yang memperkukuh/mengandalikan otak untuk melakukan sesuatu. Bahasa dapat mensugesti seseorang untuk melakukan tindakan fisik juga dapat melakukan tindakan berbahasa itu sendiri. Namun yang pasti, apabila dikaitkan dengan penyakit latah, tindakan berbahasa yang meupakan output hanya merupakan "produk bawah sadar" yang mungkin saja secara leksikal dan semantik memiliki arti, namun pikiran manusia yang mengujarkannya secara spontan itu tidak memaknainya secara khusus karena kata-kata tersebut keluar begitu saja.
    Latah ada yang menyebutnya sebagai sesuatu yang biasa saja bahkan ada yang menganggapnya sebagai suatu hiburan, namun ada pula yang menganggapnya sebagai suatu penyakit yang sangat mengganggu. Latah dalam bentuk perkataan bisa saja melunturkan kekhidmatan berbahasa, misalnya seorang penderita koprolala yang sedang berbicara serius di dalam forum formal, tiba-tiba ia dikagetkan, tahukah apa yang akan terjadi? Mungkin saja wibawanya tiba-tiba jatuh di hadapan khalayak yang pada awalnya menyeganinya. Padahal, sang pengujar pun tak merencanakan "kata-kata spontan' yang diucapkannya.

    Rekomendasi
    Karena penyakit latah dianggap suatu penyakit yang cukup serius pada hal-hal tertentu. Maka, ada baiknya muncul beragam treatmen untuk membantu penyembuhannya di antaranya yaitu:
    1. Selalu berusaha tenang dan tidak reaktif meyikapi setiap persoalan.
    2. Terapi obat dan terapi perilaku (kognitif) adalah cara yang lazim dipakai mengatasi latah. "Yakni dengan diberikan stimulasi mengejutkan namun dibekali pengendalian respons terhadap stimulan tersebut.
    3. Penderita latah dilatih untuk tidak segera merespons dan diberikan waktu untuk berpikir setelah stimulasi kejutan itu.
terapi obat biasanya diberikan obat menghambat stimulus. Berupa gabungan zat antidepresan dan penenang.
    4. Gunakan bahasa sebagai media penyembuh. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bahasa bisa jadi cikal bakal yang mensugesti alam bawah sadar penderita latah untuk bertindak dan berucap latah. maka, bahasa pun dapat digunakan sebagai media penyembuh yaitu dengan cara menggunakannya sebagai "sugesti balik" untuk meghilangkan sugesti sebelumnya. Metode-metode seperti ini banyak digunakan dalam hipnoterapi.

    Simpulan
    latah adalah menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain; berlaku seperti orang gila (misal karena kematian orang yang dikasihi);  meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang atau bangsa lain; mulut mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh (karena marah, dsb).
    latah dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu latah ucapan (latah verbal) dan latah tindakan. Latah verbal terdiri dari dua jenis latah yaitu Ekolalia (mengulangi perkataan orang lain) dan koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor). Latah tindakan terdiri dari dua jenis latah yaitu latah ekopraksia (meniru gerakan orang lain) dan automatic obodience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).
    Faktor penyebab latah yaitu faktor pemberontakan, faktor kecemasan, dan faktor pengkondisian.
    Bahasa memiliki peran dalam menciptakan "penyakit latah" yaitu karena bahasalah yang mensugesti alam bawah sadar untuk melakukan sesuatu. Misalnya bahasa menyuruh alam bawah sadar untuk merespon "kekagetan" dengan tindak reaktif berupa latah perbuatan dan latah verbal. Selain sebagai "pencipta penyakit" bahasa juga yang bisa menjadi obat penyembuhnya. metode ini biasa digunakan di kalangan para hipnoterapis.

Referensi
Anonim. http://www.berita8.com/news.php?cat=6&id=5515.[5 Desember 2009]
Anonim. http://forum.kafegaul.com/archive/index.php/t-125688.html [5 Desember 2009]
Anonim. http://wienarti.multiply.com/journal/item/96 [5 Desember 2009]
Anonim. http://hadialfarghani.blogspot.com/2009/06/latah-eh-latah.html [5 Desember 2009]
Anonim. http://forum.megaxus.com/index.php?topic=29425.0 [5 Desember 2009]
Anonim. http://harrie91.wordpress.com/2007/10/28/latah/ [10 Januari 2010]
Anonim. http://uulblog.blogspot.com/2009/06/eh-lataheh-latah.html [10 Januari 2010]
Anonim. http://miranyala.multiply.com/journal/item/176/Latah_..._pffftt... [10 Januari 2010]
Anonim. http://www.hypnosis45.com/latah.htm [10 Januari 2010]
Anonim. http://hanonsari.com/?p=153 [10 Januari 2010]
Anonim. http://www.perempuan.com/new/index.php?aid=18535&cid=5 [10 januari 2010]
Harras, Kholid A. dan Andika Duta Bachari. 2009. Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI Press.
Kurniawan, Riky. http://riky.kurniawan.us/idea/latah/ [5 Desember 2009]

Senin, 15 Oktober 2012

[Sastra] Analisis Cerpen Joni Ariadinata


Anjing; Perwakilan Realitas Pada Zamannya
Oleh
Sri Maryani, S.Pd.

Joni Ariadinata disebut-sebut telah mampu memberikan warna baru dalam kesusatraan di Indonesia. Penulis yang bertumbuh dalam sastra koran melalui cerpen-cerpennya ini telah memberikan angin segar dalam kreativitas menulis (khususnya dalam penulisan cerpen). Kekhasan muncul sebagai wujud kreativitas sang pengarang. Membaca karyanya, pembaca akan menemukan ‘keanehan’ yang membuat terlonjak karena pembaca berhasil menemukan perbedaan dari karya-karya sejenis yang sudah ada. Di saat karya lain banyak memilih kerumitan jalinan kata dengan pengembangan diksi dan deskripsi yang runtut, Joni memilih untuk mendeskripsikan sesuatu dengan menggunakan satu kata atau frase saja.  Saat membaca karyanya pembaca tak merasa lelah dalam mengatur nafas. Jalinan kata membuat ‘efek cepat’ pada pembaca yang membaca karyanya. Tak berumit-rumit dengan diksi yang runtut, namun tetap mengena. Efeknya ialah pembaca semakin liar dalam mendeskripsikan/mencitrakan sesuatu yang terdapat dalam karyanya.

‘Anjing’ dalam Tragedi Cerita
            Salah satu karya Joni yang akan dibahas di dalam tulisan ini ialah cerpen yang berjudul “ANJING”. Di awal sampai akhir cerita kita akan disuguhi sebuah rangkaian cerita yang penuh dengan tragedi. Diksi yang efektif mulai digunakan penulis dari awal tulisan. “Pintu terbuka, ‘kubunuh kau!!” Lemparan batu....”. Pembaca seolah digiring agar cepat membaca. Cerpen ini menceritakan tentang tragedi anjing-anjing tuan Hilmi yang dibunuh. Tuan Hilmi adalah seorang kepala dusun yang begitu disegani warganya. Orang-orang di desa sangat mengabdi kepadanya. Apa-apa yang dimiliki tuan Hilmi dianggap agung. Terlebih-lebih oleh kopral Polisi yaitu ajudannya yang setia. Kopra polisi takut kalau tuan Hilmi merasa kecewa dengan kinerjanya. Hal yang ditakutkanpun akhirnya terjadi, salah satu anjing tuan Hilmi ada yang membunuh. Kopral polisi dan semua warga cemas. Karena, apa yang dimiliki oleh tuan Hilmi ialah sesuatu yang sangat berharga melebihi nyawa mereka sendiri. Sebuah ketetapan pun timbul bahwa untuk mengganti seekor anjing yang mati harus berganti tiga puluh nyawa manusia. Maka, diseleksilah 30 warga sebagai pengganti anjing tuan Hilmi yang mati. Mereka bangga menjadi pahlawan. Namun, kebahagianan karena ada pengganti bagi seekor anjing tuan Hilmi yang mati tak bertahan lama, karena ada seorang warga yang mengabari bahwa anjing yang kedua milik tuan Hilmi mati. Warga pun membuka pendaftaran tahap dua untuk mengganti kematian anjing tuan Hilmi yang kedua. Tuan Hilmi merasa senang karena dicintai rakyatnya. Terlebih mereka rela mengorbankan diri untuk menggantikan kedua anjingnya yang mati. Namun, menurut tuan Hilmi, pengganti tersebut tak diperlukan. Memandang itu, Kopral polisi takut merasa tidak berguna. Kopral polisi takut kalau apa yang diucapkan oleh tuan Hilmi tidak jujur dari hatinya karena bagaimanapun Kopral Polis sudah merasa mengenal tuan Hilmi dengan segala kelicikannya. Kopral Polis pun menduga kalau itu akan membuat ia semakin tersingkir dan tak berguna lagi bagi tuan Hilmi karena tak mampu menemukan pembunuh anjing tuan Hilmi. Maka, ia pun berpikir pintas. Kopral polis menyatakan bahwa yang membunuh anjing Tuan Hilmi ialah Sarmun anaknya Kopral polis sendiri. Kopral polis menyatakan hal tersebut agar tuan Hilmi senang. Namun, yang terjadi ialah tuan Hilmi malah murka. Ia marah karena yang sebenarnya membunuh anjingnya adalah tuan Hilmi sendiri (untuk menguji kesetiaan rakyatnya). Sedangkan Kopral polis malah sengaja mengorbankan anaknya sebagai bentuk tameng pengabdian kepada tuan Hilmi. maka, Kopral polisi ialah sejelas-jelsanya seorang penjilat. Dengan murka, tuan Hilmi memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Kopral Polis dihadapannya, karena ia dianggap berbahaya; mengorbankan anaknya saja dia sangat berani, apalagi nanti mungkin tuan hilmi akan dikorbankan juga.

            Cerpen ini memang berkisah tentang tragedi anjing. Di awal sampai akhir cerita. Awal cerita tragedi dibuka oleh anjing-anjing riil tuan Hilmi yang dibunuh. sedangkan di akhir cerita, tuan Hilmi bercerita tentang ‘seorang anjing’ yang akan dibunuh.

‘Anjing’ dalam Membidik Realitas Sosial  
            Cerpen ini berhasil membidik keadaan sosial yang terekam sekitar waktu-waktu cerpen ini dibuat. Kalau dikaitkan dengan waktu kapan cerpen ini dibuat yaitu tahun 1997 maka kita akan mengaitkan  apa yang ada di dalam cerpen dengan rezim yang belaku pada saat itu. Kalau pembaca hanya mengartikan isi cerpen sebatas penangkapan isi dari seluruh kejadian bahwa ada seorang tuan yang memiliki anjing, kemudian anjingnya dibunuh, lalu ada orang yang akan dikorbankan sebagai wujud pengorbanan, kemudian diakhir seorang kopral mengaku bahwa anaknya yang membunuh anjing sang tuan (agar mendapat simpati bahwa ia tangan kanan yang mengabdi), kemudian sang tuan mengetahui bahwa sang tangan kanan adalah seorang penjilat. Itu nampak terlihat biasa. lain halnya kalau kita mengaitkannya dengan realitas sosial.

            Tahun 1997 (tahun yang tercetak sebagai titimangsa penulisan cerpen ini) ialah tahun yang pada saat itu sedang ‘terseok-seoknya’ orde baru. Sebelum adanya perlawanan dari rakyat (secara besar-besaran), orde baru berkuasa dengan kekuatan jenderalnya. Rakyat manut, mengabdi, dan takut kepada sang pemimpin. Apa yang diungkapkan sang penguasa dianggap sebagai sesuatu yang benar. Apabila ada yang menolaknya maka ia akan disebut sebagai pengacau atau pengkhianat. Dan, hukuman yang akan didapat sudah pasti yaitu penjara hingga penghilangan nyawa. Hal itu dapat kita lihat dalam salah satu penggalan paragraf “...Tentunya tak berdasar jika semisal ada pengkhianat yang bisa selamat. Amat mustahil tak bisa terbongkar. Hanya satu hal yang mungkin: dulu ketika kang Tulip Si raja Kere hidup. Tapi semua keturunan bajingan itu sudah mati. Dulu, hanya tinggal buyut kang Tulip dibiarkan selamat karena saking peot dan tuanya: lumpuh, penyakitan, nyaris sekarat. Para warga kasihan. Sampai ketika tuan Hilmi merasa kurang berkenan, berkehendak menyempurnakan garis-garis perintah Tuhan untuk melestarikan kebenaran, keadilan, dan kemakmuran; maka kopral polisi termaktub, tanpa harus diperintah dua kali bergegas menempelkan pelatuk bedil. Mendesis memejam mata, “moddarr!!”

            Di ‘tragedi-tragedi awal’ pembaca menangkap ada bau-bau pengabdian yang sengaja disodorkan rakyat kepada penguasa melalui penggambaran ‘satu ekor anjing yang mati sama artinya dengan tiga puluh warga’ berarti ada sebuah pemaknaan bahwa rakyat tidak lebih berharga dari apa yang dimiliki oleh sang penguasa. Kemudian, di akhir cerita, pembaca dikejutkan dengan realitas ‘seorang penjilat’ yang untuk sebuah pengabdian kepada atasannya, ia rela menghalalkan segala cara bahkan mengorbankan anaknya sendiri. Mungkin ini bisa mewakili realitas pada saat itu, bahwa banyak ‘staf’ sang penguasa yang begitu manut, setia, selalu membenarkan perkataan atasan. Namun, entah di hati mereka. Mereka selalu menarik simpati sang penguasa. Dan, ingin menunjukkan bahwa mereka sebagai sebaik-baiknya pendukung utama sang penguasa. Entah berlangsung lama atau tidak. Namun, saat sejarah mengatakan lain yaitu saat rezim goyah, sat rakyat tertindas mulai memberontak, saat suara-suara penjatuhan mulai bergaung makin keras, ada di antara pendamping setia sang penguasa yang justru meninggalkan sang penguasa. mungkin ia penjilat?

            Salah satu  bidikan penggambaran di dalam cerpen yang mengenai realitas sosial pada zamannya yaitu tentang penunjuk realitas yang mengarah pada penggambaran ‘sosok’ penguasa yang terlihat pada penggalan dalam salah satu paragraf “...sebabnya tentu saja, di dalam pemilihan, menjelang masa bakti tuan Hilmi kedelapan (baca: Tuan Hilmi 79 tahun, masih sehat) ,jelas dinyatakan lewat deteksi formulir pendapat “kompak-seragam-seirama”, yang berisikan kesepakatan tertulis bahwa: Ttuan Hilmi, menurut kemestian, adalah Kepala Organisasi Kampung (KOP) yang baik dan benar...”
           
            Di dalam cerpen ‘anjing’ ini juga, Joni memberikan deskripsi tentang lingkungan sekitar (latar tempat) yang merupakan bagian realitas kesemrawutan kondisi pada saat itu “...Rumah-rumah─sesak─, berhimpitan model pasar inpres. Jalan gang beton, dua di kiri dan tiga di kanan,atap nyaris saling bentrok. Hawa panas jika menguap siang; tak ada tempat buat halaman. Sekat-sekat kost sarang mahasiswa 112 kotak persegi...”

            Selain itu, ada juga penggalan paragraf yang menandakan bahwa cerpen ini menyingkap realitas sosial politik yang terjadi yaitu pada penggalan paragraf “...Inilah kehidupan─seperti yang mereka bilang─direstui Tuhan Sarwa sekalian Alam, nyata. bersabda di dalam undang-undang ayat 20, pasal 2195, halaman 302: “Kemiskinan sudah lama dikekalkan peraturan bahwa itu bukan dalih untuk saling mempermasalahkan.” Jadi jelas: yang miskin silakan miskin, yang kaya silakan kaya. Peraturan sudah termaktub dalam undang-undangnya bisa dibaca umum, bebas, dalam segi penjabaran PP/21/003-PUTK/2021/NN, dikuatkan GBPN (Garis Besar Peraturan Negara), atas nama Yang Mulia Gubernur, dikutip cq Kepala Kampung dengan otonomi penuh, sebagai birokrat ditunjuk...”. Pencitraan pembaca yang sudah ngeh bahwa cerpen ini berkaitan dengan realitas sosial politik akan terdukung oleh kutipan di atas yang seolah-olah merupakan peraturan yang dibuat untuk ditaati karena bisanya yang sering membuat peraturan seperti itu ialah pemerintah. Di rentetan kata selanjutnya penulis meletupkan realitas bahwa apapun yang dilakukan oleh ‘sang penguasa’ tidak boleh dipertentangkan “...tersurat dalam daripada kalimat berikut: ‘masyarakat dipersilakan hidup sebagaimana kebiasaan watak masyarakat tanpa tedeng aling-aling. Dalam arti gambling saling membiarkan.’ Artinya: jaminan hidup jujur dibiarkan sesuai dengan konsep jujur yang diyakini. Tentu saja, ditekankan beserta kesadaran (dalam arti keharusan, sepenuhnya) untuk tetap: “tidak mempertentangkan kejujuran kehendak setiap petugas tertunjuk. termasuk (dalam hal ini tuan Hilmi tertunjuk) bersama nasib para petugas paling setia (oleh sebab Tuan Hilmi memelihara 6 ekor anjing,─satu meninggal, lima ekor masih hidup).”.

            Realitas lainnya (masa orde baru) yang penulis tuangkan dalam cerpen ini ialah pada saat rezim orde baru, saat berujar, orang-orang harus menggunakan ‘pilihan-pilihan kata’ yang telah ditentukan “...Semua kata baru dibakukan lewat konferensi sepihak,─para ahli bahasa atas nama kemakmuran seluruh dunia...”. Ada juga penulis menorehkan realitas tentang tindakan KKN di masa itu “...Maka tak perlu risau, kaget, apalagi jengkelit jika seorang tokoh agama tiba-tiba bilang terkekeh-kekeh di tengah pasar: ‘Bayangkan, gue sanggup korupsi delapan puluh milyar!’” atau dalam penggalan paragraf “Astaga! Sampeyan dapat sogokan dua puluh juta?! Itu sudah termasuk prestasi local, saudara!! Bisa diusulkan untuk dapat penghargaan di tingkat provinsi...”

            Jelas sudah pembaca akan semakin tersadarkan pada realitas sosial politik yang disodorkan penulis yaitu keadaan pada saat rezim orde baru. Joni begitu garang sekaligus nakal dalam mengungkap realitas. Garangnya ialah saat ia dengan lugas meletupkan unek-uneknya tentang kondisi sosial yang terjadi. Nakalnya ialah dalam penggarapan unek-uneknya menjadi sebuah cerita yang begitu menggelitik. Pencapaiannya ialah saat pembaca mampu menangkap efek kejut dari cerpen ini setelah ikut ritme tulisan yang seolah menuntut pembaca berlari-lari saat membacanya.

‘Anjing’; Sebuah Kado Realitas dari Masa Lalu
            Sebuah tulisan mempunyai ‘efek abadi’ seperti halnya batu bersurat yang lazim kita sebut sebagai prasati. Karena ia mampu menyingkap cerita, memberikan hikmah, kemudian bisa diwariskan sebagai sebuah cerita yang berpesan. Begitupun cerpen ‘Anjing’ ini yang juga mampu meletup-letupkan ingatan, hingga mengantarkan pembaca pada realitas masa lalu (masa orde baru) yang kemudian dibentrokan kembali dengan realitas kekinian (zaman sang pembaca hidup). Mungkin saja ‘tragedi anjing’ dari masa lalu kembali berulang kini.
            Bagaimanapun ‘anjing’ merupakan sebuah ‘prasati’ dari masa lalu yang berusaha menggelitik pembaca dengan realitas yang terjadi juga penggarapan penulisan yang begitu segar oleh penulis. Sebuah cerita dari realitas masa lalu yang dihadiahkan penulis kepada pembaca berikut dengan kreativitas dalam penyajian karya yang menambah warna dalam proses kreatif penulisan cerpen. Ya, kado terindah dari masa lalu. Agar pembaca menjadi seorang pembelajar yang cerdas membaca realitas, menyingkap makna, dan cerdas menemukan bongkahan-bongkahan ide kreatif dalam proses penciptaan karya khususnya cerpen.
            Joni Ariadinata telah mampu menawarkan ide segar dalam mengungkap realitas kemudian menuangkannya menjadi sebuah cerpen. Pembaca digiring untuk menikmatinya. Dan, memang menikmati kekayaan baru dalam menulis cerpen. Jalanan kreativitas begitu banjang, masih banyak ‘persinggahan ide’ yang belum terjamah. Selamat berkelana menyingkap realitas dan menemukan ide segar selanjutnya.

[ESAI] Kopi Darat dan Buaya Darat


Apakah Kopi Darat dan Buaya Darat Satu "keluarga"?
oleh
 Sri Maryani *

            Semakin ramai orang-orang berjejaring di dunia maya (baik melalui Facebook, Twitter, Friendster, blog Multiply, dsb.) mereka akan semakin banyak menemukan istilah-istilah baru yang mungkin saja hanya diketahui di kalangan mereka saja. Di antara begitu banyaknya istilah yang muncul, ada istilah yang semakin umum dan semakin biasa digunakan yaitu istilah KOPI DARAT atau biasanya dipendekkan menjadi KOPDAR. Kita sering menemukan istilah "KOPDAR" tersebut di sela-sela "coloteh tulis" antar rekan sejejaring kita. Entah sejak kapan istilah itu bermula? Dan apa maksud istilah itu sesungguhnya?
            KOPDAR merupakan pemendekan dari kata kopi darat. Walaupun tak tepat karena seharusnya pemendekan yang tepat ialah diambil salah satu suku katanya secara konsisten baik itu suku kata awal atau suku kata akhir yaitu KODA ataupun PIRAT. Tentang istilah kopi darat itu sendiri tak banyak yang tahu dari mana mulanya. Sumber pun belum banyak yang mendefinisikan tentang itu. Tak banyak sumber yang menuliskan asal muasal istilah tersebut. Di kamus-kamus istilah digital ataupun di mesin pencari seperti Google dan Wikipedia pun tak banyak yang secara pasti membahas definisi kopi darat.
Namun, ada pula yang menyatakan bahwa kopi darat dari dulu memang sudah sering digunakan khususnya oleh mereka yang aktif di radio hubung (dulu sempat ada trend "breaker"). Istilah ngetrendnya  saat itu disebut break-breakan yang sangat digandrungi penghobi radio 2 meterband, 11 meterband, juga yang 80 meterband. Komunitas radio tersebut dapat saling hubung (saling berkomunikasi). Di kalangan breaker, kata “kopi” itu sendiri memiliki arti jelas, terang, gamblang, nyata, atau bisa diketahui.
            Apabila diartikan menurut pemahaman para pengguna istilah tersebut di zaman sekarang (tepatnya disesuaikan dengan trend zaman sekarang), kopi darat ialah pertemuan dengan teman-teman maya di dunia nyata misalnya pertemuan dengan teman FBers, YM, MPers, atau teman sms-an. Saya jadi berpikir kenapa istilah kopi darat muncul untuk menamai kegiatan-kegiatan tersebut? Pikiran saya tak hanya berpusat pada itu, tetapi juga tentang arti kata tersebut secara leksikal dan maknanya. Lalu pencarian padanan kata kopi darat dalam bahasa lain yang diduga-duga bisa jadi merupakan cikal bakal munculnya kata tersebutpun dilakukan. Kali ini yang digunakan sebagai pembanding ialah bahasa Inggris. Mungkin saja kopi darat merupakan istilah asing yang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa istilah yang diketemukan ada yang menyebutkan bahwa kopi darat itu ialah Land Coffe. Namun, pertanyaan yang menyusul kemudian ialah apakah orang-orang Ingris lazim menggunakan kata Land Coffe tersebut? Atau jangan-jangan istilah tersebut hanya sebatas istilah yang dipaksakan oleh kita untuk mencari padanan istilah kopi darat? ada juga yang menyebutkan kata "kopi" dalam kopi darat itu bukan coffe melainkan copy. Secara pemaknaan yang "aman" ada yang menjelaskan bahwa kopi darat  itu sama dengan gathering atau meet face to face.
            Saya iseng-iseng menyetarakan istilah "Kopi Darat" itu dengan "Buaya Darat". Kopi darat menunjuk dua kata yang selalu dilekatkan bersama seperti halnya buaya darat. Kopi darat terdiri dari dua kata yaitu Kopi (nomina) dan darat (nomina). Buaya darat juga terdiri dari dua kata yaitu buaya (nomina) dan darat (nomina). Namun secara makna pengguna memaknai istilah "buaya darat" sebagai pelaku (objek/subjek) sedangkan "kopi darat" dimaknai sebagai suatu kegiatan/aktivitas. Muncul pertanyaan berikutnya, apakah kopi darat dan buaya darat memang satu keluarga? Yaitu satu keluarga sebagai istilah-istilah yang memiliki makna terselubung baik itu berupa kata majemuk ataupun idiom?
            Dari segi leksikologi, istilah KOPI DARAT terdiri dari dua kata yaitu KOPI dan DARAT. Apakah kopi darat sama artinya dengan kopi yang di tanam di darat? Bisa jadi secara harfiah kata tersebut tidak dapat digunakan dalam maujud arti sebenar-benarnya yaitu kopi menurut KBBI yang mempunyai arti pohon yang banyak ditanam di Asia, Amerika dan Afrika; buah (biji) kopi; serbuk kopi atau juga arti lainnya yaitu salinan yang sesuai dengan asli yang diperoleh dengan cara memfotokopi. Sedangkan Darat secara leksikal ialah bagian permukaan bumi yang padat; tanah yang tidak digenangi air (sebagai lawan dari laut atau air). Kalau benar kata kopi darat tidak mewakili arti atau makna sesungguhnya seperti yang terdapat di kamus bisa jadi kopi darat merupakan istilah yang memiliki makna "terselubung". Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan adanya usaha pembentukan kata majemuk atau mungkin idiom dari istilah tersebut. Apabila dikaitkan dengan konteks ataupun realitas penggunaan istilah itu di kalangan para pengguna bahasa, menurut saya kopi darat lebih seperti kata majemuk karena bisa jadi salah satu arti dari kata tersebut memiliki keterkaitan dengan realitas. Kopi darat mungkin sebagai aktivitas ngopi-ngopi (minum atau juga makan sambil diselangi ngobrol) dan "darat" di sini dapat dimaknai sebagai tempat berpijak manusia secara nyata. Jadi, istilah kopi darat apabila dikaitkan dengan fenomena "cyber" sekarang mungkin dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu untuk berbincang-bincang yang pada awalnya dilakukan hanya di tingkat dunia maya kemudian dialihkan ke pertemuan di kenyataan. Atau juga apabila ada sebagian orang yang meyakini bahwa kata kopi di sini maksudnya copy, maka aktivitas "kopi darat" juga dapat dimaknai sebagai kegiatan "menggandakan". Maksudnya ialah menggandakan pertemuan yang biasanya dilakukan di dunia maya, maka kali ini digandakan juga ke pertemuan di dunia nyata.
            Pada akhirnya dinamika bahasa membuktikan adanya kata atau istilah baru yang lahir. Namun, yang menjadi soal ialah bagaimana kata atau istilah baru tersebut  itu bisa diakui oleh khalayak dengan segala sifat keanomalian yang dikandung oleh istilah tersebut. Istilah-istilah baru seringkali menciptakan keanehan pada awalnya namun lambat laun masyarakat pemakai bahasa akan terbiasa menggunakan istilah-istilah tersebut. Mengenai maknanya pula, lambat laun kedinamisan bahasa dan kultur yang berkembang di masyarakat akan membentuk apakah kata tersebut akan mengalami perluasan makna atau penyempitan makna, peninggian makna atau juga perendahan makna? Ya, seperti KOPI DARAT tadi, mungkin saja dinamisasi makna akan membentuk persepsi pengguna bahasa bahwa kopi darat hanyalah pertemuan para buaya darat. Ya, bisa jadi! Jika nilai semantiknya bergeser ke ruas negatif!

[Puisi] ASTANA


ASTANA 
Karya: Sri Maryani

Dan ketika kelak
Pada akhirnya aku pulang dengan lugu
Aku tak dapat menyembunyikan muka cemasku
Ketika waktu menggenggamku dengan langkah terburu
Aku seperti anak kecil yang diseret
Tersuruk di antara wajah-wajah batu
Mulut-mulut gagu
Dan laku yang tak pernah paham tentang rindu
Dan ketika waktu mengajakku pulang
Pada rumah-rumah nisan
Aku belum pandai mengumpulkan bekal
Seperti seorang tua mengumpulkan remah
Dari piring-piring yang pecah
Astana..
Istana terakhirku..
Tempat aku rebah dibenam waktu
Bagaimana kelak aku menjawab sunyiku
Sedang kelak mulutku gagu
Dan yang bicara hanyalah lakuku di masa lalu
Ketika seorang tua berkata padaku di sore itu,
"gegaslah sebelum hitammu menjadi uban!"
Betapa pada akhirnya hidup tak dapat kita ulur
Pada waktu yang telah kita punggungi
Lalu kita terjerat kenang
Saat kita menoleh ke belakang
Kemudian,
Dengan lugu kita mengakui
Bahwa hidup lebih dari soal
Bagaimana kita menjamu waktu