Ada sebuah
kajian yang menarik yang saya temukan di sebuah jurnal. Tulisan tersebut
ditulis oleh Kholid A. Harras. Beberapa hari lalu, saya juga berkesempatan
membaca tulisan tersebut versi lengkapnya yang ternyata berupa sebuah tesis.
Tulisan tersebut berjudul “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi
Keluarga”.
Dalam
tulisan tersebut dipaparkan tentang berkembangnya khazanah sastra anak
Indonesia yang dimulai dengan kemunculan buku-buku karya anak Indonesia dengan
payung KKPK (Kecil-kecil Punya Karya). KKPK diawali oleh sebuah karya dari Sri
Izzati yang berjudul “Kado untuk Ummi”. Setelah itu banyak karya anak-anak lain
yang bermunculan. Di tulisn tersebut terlihat bahwa program literasi keluarga
sangat penting dalam menciptakan sebuah kultur melek baca-tulis.
Hal
tersebut menjadi nafas baru bagi dunia literasi kita, bahwasannya anak-anak
Indonesia sudah memiliki tingkat literasi yang tidak bias digeneralisasi
rendah. Kemampuan anak-anak dalam menulis pasti ditunjang oleh kemampuan mereka
dalam membaca beragam sumber informasi.
Sastra
anak khususnya buku-buku perlu perhatian lebih. Buku anak adalah buku yang
dibuat dengan mempertimbangkan banyak aspek, mulai dari tingkat keterbacaan
wacana hingga kesesuaian kondisi psikologis anak dengan isi dan gaya tulisan
sebuah buku.
Pada
usia anak-anak, kita mengidentifikasi ada beberapa hal penting yang harus
menjadi catatan yang akan bersesuaian dengan apa yang dimaksud buku anak yang
baik dan menarik. Pertama, anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang lebih.
Rasa ingin tahu tersebut dapat menjadi kata kunci bagi kita dengan cara
menciptakan cerita yang dapat menarik rasa penasaran anak, sehingga anak mau
memberikan waktunya untuk bacaan.
Kedua,
buku anak dapat diciptakan dengan memperatikan tingkat keterbacaan wacananya.
Anak-anak usia sekolah dasar tidak mungkin diberi kalimat-kalimat panjang.
Buatlah kalimat-kalimat yang mudah dicerna dan diimajinasikan di pikiran
anak-anak.
Ketiga,
buku anak yang baik adalah buku anak yang memahami psikologi anak. Apa yang
menjadi dunianya. Enid Blyton dengan buku Lima Sekawannya mengapa sangat
inspiratif, karena buku tersebut tepat membidik “jiwa” anak-anak yang senang
berpetualang dan kecenderungan imajinatif yang tinggi. Artinya, ini menjadi
sinyal penting, bahwa ketika buku anak dibuat harus benar-benar paham dulu
dunia dan pikiran anak-anak. Buku anak adalah buku ramah anak. Buku tersebut
mampu menjadi teman anak-anak.
Belum
banyak buku anak karya dalam negeri yang beredar di pasaran buku. Selain itu,
penulis-penulisnya pun masih dapat dihitung oleh jari. Sebut saja Ali Muakhir
yang mempunyai keajegan tetap berada di genre ini. Selain itu? Mungkin ini
menjadi jalan bagi kemunculan penulis-penulis yang meminati bidang ini.
Selama
ini, buku anak selalu diidentikan dengan kumpulan dongeng atau negeri-negeri
peri. Padahal, menulis cerita anak dapat beranjak dari keseharian yang begitu
dekat dengan anak. Seharusnya, yang menjadi catatan kita adalah, apakah bahasa
buku anak sudah demikian bersahabat dengan anak? Sudah memancing rasa ingin
tahu anak? Sudah menyalakan api imajinasi anak-anak? Ataukah buku anak baru
sebatas kumpulan cerita seperti dongeng yang selalu “mengajari” anak, yang
membuat anak enggan muncul rasa ingin tahunya.
Buku
anak bisa jadi tumbuh dari para penulis yang tak lagi anak-anak, bisa pula
tumbuh dari karya generasi mereka sendiri—anak-anak. Buku anak adalah buku yang
ditulis dengan bahasa sederhana, dengan bahasa yang mudah dimamah oleh pikiran
belia-belia itu. Bukan sekadar buku dongeng pengantar tidur, tetapi buku yang
membuat mereka belajar bertumbuh dalam hidup sesuai dengan kodratnya, yaitu
sebagai anak-anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar