Selasa, 26 Agustus 2014

Buku Anak Mempertemukan Anak dengan Kodratnya

Ada sebuah kajian yang menarik yang saya temukan di sebuah jurnal. Tulisan tersebut ditulis oleh Kholid A. Harras. Beberapa hari lalu, saya juga berkesempatan membaca tulisan tersebut versi lengkapnya yang ternyata berupa sebuah tesis. Tulisan tersebut berjudul “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”.
                Dalam tulisan tersebut dipaparkan tentang berkembangnya khazanah sastra anak Indonesia yang dimulai dengan kemunculan buku-buku karya anak Indonesia dengan payung KKPK (Kecil-kecil Punya Karya). KKPK diawali oleh sebuah karya dari Sri Izzati yang berjudul “Kado untuk Ummi”. Setelah itu banyak karya anak-anak lain yang bermunculan. Di tulisn tersebut terlihat bahwa program literasi keluarga sangat penting dalam menciptakan sebuah kultur melek baca-tulis.
                Hal tersebut menjadi nafas baru bagi dunia literasi kita, bahwasannya anak-anak Indonesia sudah memiliki tingkat literasi yang tidak bias digeneralisasi rendah. Kemampuan anak-anak dalam menulis pasti ditunjang oleh kemampuan mereka dalam membaca beragam sumber informasi.
                Sastra anak khususnya buku-buku perlu perhatian lebih. Buku anak adalah buku yang dibuat dengan mempertimbangkan banyak aspek, mulai dari tingkat keterbacaan wacana hingga kesesuaian kondisi psikologis anak dengan isi dan gaya tulisan sebuah buku.
                Pada usia anak-anak, kita mengidentifikasi ada beberapa hal penting yang harus menjadi catatan yang akan bersesuaian dengan apa yang dimaksud buku anak yang baik dan menarik. Pertama, anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang lebih. Rasa ingin tahu tersebut dapat menjadi kata kunci bagi kita dengan cara menciptakan cerita yang dapat menarik rasa penasaran anak, sehingga anak mau memberikan waktunya untuk bacaan.
                Kedua, buku anak dapat diciptakan dengan memperatikan tingkat keterbacaan wacananya. Anak-anak usia sekolah dasar tidak mungkin diberi kalimat-kalimat panjang. Buatlah kalimat-kalimat yang mudah dicerna dan diimajinasikan di pikiran anak-anak.
                Ketiga, buku anak yang baik adalah buku anak yang memahami psikologi anak. Apa yang menjadi dunianya. Enid Blyton dengan buku Lima Sekawannya mengapa sangat inspiratif, karena buku tersebut tepat membidik “jiwa” anak-anak yang senang berpetualang dan kecenderungan imajinatif yang tinggi. Artinya, ini menjadi sinyal penting, bahwa ketika buku anak dibuat harus benar-benar paham dulu dunia dan pikiran anak-anak. Buku anak adalah buku ramah anak. Buku tersebut mampu menjadi teman anak-anak.
                Belum banyak buku anak karya dalam negeri yang beredar di pasaran buku. Selain itu, penulis-penulisnya pun masih dapat dihitung oleh jari. Sebut saja Ali Muakhir yang mempunyai keajegan tetap berada di genre ini. Selain itu? Mungkin ini menjadi jalan bagi kemunculan penulis-penulis yang meminati bidang ini.
                Selama ini, buku anak selalu diidentikan dengan kumpulan dongeng atau negeri-negeri peri. Padahal, menulis cerita anak dapat beranjak dari keseharian yang begitu dekat dengan anak. Seharusnya, yang menjadi catatan kita adalah, apakah bahasa buku anak sudah demikian bersahabat dengan anak? Sudah memancing rasa ingin tahu anak? Sudah menyalakan api imajinasi anak-anak? Ataukah buku anak baru sebatas kumpulan cerita seperti dongeng yang selalu “mengajari” anak, yang membuat anak enggan muncul rasa ingin tahunya.
                Buku anak bisa jadi tumbuh dari para penulis yang tak lagi anak-anak, bisa pula tumbuh dari karya generasi mereka sendiri—anak-anak. Buku anak adalah buku yang ditulis dengan bahasa sederhana, dengan bahasa yang mudah dimamah oleh pikiran belia-belia itu. Bukan sekadar buku dongeng pengantar tidur, tetapi buku yang membuat mereka belajar bertumbuh dalam hidup sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar